Sabtu, 25 Januari 2014

Kontroversi Seputar Fatwa MUI Tentang Bunga Bank

MUI akhirnya menjatuhkan vonis haramatas bunga bank, tepat di penghujung tahun 2003 kemarin. Tak ayal, keputusan yang oleh sebagian orang dianggap mendadak ini memancing respons dari pelbagai pihak. Tidak sedikit yang kemudian bertanya-tanya. Benarkah bunga yang selama ini dijadikan basis oleh bank-bank konvensional adalah riba? Tidak adakah pengecualian untuk bunga yang “wajar” dan proporsional? Bagaimana kesimpulan halal atau haramnya bunga bank diperoleh?
Tulisan ini akan mencoba untuk melakukan pengkajian ulang, dari sudut pandang syariah Islam, terhadap bunga bank. Mudah-mudahan ia dapat memberi kontribusi untuk melihat jelas duduk persoalan bunga bank.

ANTARA BUNGA DAN RIBA

Pada dasarnya, bagi bank-bank konvensional, bunga memang merupakan salah satu aspek yang memainkan peran yang sangat vital dalam kegiatan usahanya. Hal ini disebabkan ia terkait langsung dengan banyak dari produk jasa bank itu sendiri. Baik itu berbentuk simpanan maupun kredit. Masing-masing dengan bentuknya yang beraneka ragam seperti giro, deposito berjangka, tabungan, obligasi, KUK, dan lain-lain. Mengingat luasnya bidang usaha perbankan tersebut, pembahasan ini akan lebih memfokuskan diri pada konsep bunga bank itu sendiri dan tidak terlalu jauh merinci aplikasi sistem bunga dalam praktiknya. Menurut Dahlan Siamat, bunga (interest), “dari sisi permintaan adalah biaya atas pinjaman; dan dari sisi penawaran merupakan pendapatan atas pemberian kredit.”
Bunga di sini dipandang sebagai sewa atau harga dari uang. Ia adalah imbalan atas pemakaian uang. Katakanlah Anda meminjam dana sebesar Rp. 10.000 dari Bank XYZ. Pada akhir tahun, Anda diharuskan untuk mengembalikan sebesar Rp. 10.100. Selisih antara uang pokok dan jumlah yang harus dikembalikan, yaitu Rp. 100, adalah bunga.
Selanjutnya adalah riba. Lebih khusus lagi riba yang berhubungan langsung dengan transaksi keuangan atau utang-piutang. Dalam hal ini adalah riba nasi’ah dan riba jahiliyyah. Dalam Al-Qamus Al-Fiqhiy, riba nasi’ah dirumuskan dengan “tambahan yang dipersyaratkan yang diambil oleh pemberi piutang dari orang yang berutang sebagai ganti penundaan (pembayaran).”
Adapun riba jahiliyyah, maka ia dijelaskan sebagai “ketika seseorang berutang pada orang lain dan waktu pelunasan telah jatuh tempo, pemberi piutang berkata: engkau lunasi sekarang atau engkau menambah (waktu pelunasan)? Jika ia memberi tambahan (waktu), ia juga mewajibkan tambahan (atas uang pokok).” Dengan kata lain, riba jahiliyyah adalah kredit yang dibayar lebih dari pokoknya karena kreditur tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.
Dari dua rumusan riba di atas nampak bahwa inti dari riba dalam transaksi keuangan dan utang-piutang, menurut pengertian ahli-ahli fiqhi, adalah penambahan atas utang. Inti dari riba ini persis sama dengan pengertian bunga. Sehingga bisa dikatakan bahwa sebenarnya riba adalah terjemahan Arab dari kata “bunga”. Untuk contoh yang dikemukakan tadi, Anda sebenarnya cukup mengembalikan utang dalam jumlah yang sama dengan yang Anda pinjam: Rp. 10.000. Tambahan Rp. 100, dalam kaca mata Islam, adalah riba.

DALIL-DALIL TENTANG HARAMNYA BUNGA BANK

Dalil-dalil yang mengharamkan bunga diangkat dari Al-Qur’an, Hadits, atsar-atsar dari sahabat Nabi صلى الله عليه وسلم dan ijma’. Berikut perinciannya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. al-Baqarah(2): 278-279)Ayat ini menegaskan bagian yang berhak diambil oleh debitur atas kredit yang ia berikan, yaitu “ru’usu amwalikum”, pokok hartamu. Tidak lebih tidak kurang.
Senada dengan ayat ini adalah hadits berikut :
  • Dari Sulaiman bin Amr bin al-Ahwash, bapakku menceritakan kepada kami bahwa ia melaksanakan haji wada’ bersama Rasulullah صلى الله عليه وسلم . (Ketika berkhutbah, Nabi memulai dengan) memuji Allah lalu beliau memberi peringatan dan nasihat. Kemuadian beliau berkata: . . . “Ketahuilah, sesungguhnya semua riba pada masa jahiliyyah dibatalkan. Bagi kalian (hanya) uang pokok kalian, kalian tidak menzalimi dan tidak pula dizalimi . . . .”
  • Dari Abdullah bin Amr bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: “Tidak halal (melakukan transaksi ganda:) utang-piutang bersama jual-bel (pada satu waktu).Alasan pelarangan ini, wallahu a’lam, adalah karena ketika seorang pedagang menawarkan barangnya kepada calon pembeli dan pada saat yang sama ia memberi pinjaman kepadanya, ia akan menaikkan harga barang untuk mendapatkan tambahan dari pinjaman yang ia berikan. Dan ini adalah riba.
  • Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Barangsiapa yang memberi pinjaman, janganlah ia mempersyaratkan (keuntungan tertentu) selain pelunasan (uang pokoknya).”
  • Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Barangsiapa yang memberi piutang, janganlah ia mempersyaratkan (sesuatu) yang lebih dari piutangnya. Karena walaupun hanya segenggam makanan hewan (yang engkau ambil) maka ia adalah riba.”
  • Para ulama Islam telah ijma’ (konsensus) mengenai haramnya bunga. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengungkapkan: “Telah sepakat para ulama bahwa kreditor, jika ia mempersyaratkan tambahan atas kredit yang ia berikan, sebagai sesuatu yang haram.” Dalam disertasinya, Dr. Umar al-Mutrik menghimpun sebelas pernyataan ulama, dari zaman yang berbeda-beda, yang melaporkan ijma’ ini.
Demikianlah dalil-dalil mengenai haramnya bunga. Tidak terkecuali, tentu saja, termasuk di dalamnya bunga bank. Semua dalil yang diangkat tadi berlaku umum dan universal, sebagaimana keumuman dan universalisme Islam itu sendiri. Sampai di sini, Anda mungkin menangkap bahwa pembicaraan kita sejak tadi hanya berkisar pada bunga atas pinjaman. Lalu, apa pasal dengan simpanan? Apakah hukum riba ini juga berlaku untuk tambahan atas simpanan? Berikut ini pembahasaannya.

JASA PENYIMPANAN BANK DALAM PERSPEKTIF SYARIAH

Akar permasalahannya ialah: benarkah simpanan di bank (berupa giro, deposito atau tabungan) adalah “simpanan” menurut Islam? Persoalan ini hendaknya diperjelas terlebih dahulu untuk mendapatkan jawaban yang benar-benar islami. Simpanan, yang dalam terminologi para ahli fiqih disebut wadi’ah, didefinisikan sebagai amanah yang sengaja ditinggalkan pada orang lain untuk dijaga. Sebagaimana pada jenis transaksi syariah yang lain, wadi’ah juga memiliki ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan transaksi-transaksi syari’ah yang lain.
Di antaranya adalah, Pertama, aset yang disimpan berstatus amanah. Ketentuan ini bermakna bahwa kerusakan dan atau kehilangan yang terjadi pada aset tersebut diluar tanggung jawab penerima simpanan. Aturan ini berlaku, dengan catatan, tidak ada unsur kelalaian dan atau kesengajaan pada rusak atau hilangnya aset yang dimaksud. Penerima simpan­an telah melakukan prosedur yang semestinya terhadap barang simpanan. Pakaian disimpan di dalam lemari, uang di brankas, dan mobil di garasi; adalah contoh-contoh sederhana. Ketentuan ini didasarkan pada sebuah hadits Nabiصلى الله عليه وسلم “Barangsiapa yang diberi simpanan, ia tidak wajib menanggung.” Demikianlah jaminan hukum yang diberikan Islam kepada penerima simpanan.
Kedua, di sisi lain, penerima simpanan juga diikat oleh aturan lain. Penerima simpanan tidak dibenarkan oleh syariah untuk melakukan transaksi dalam bentuk apapun terhadap barang simpanan yang ada di tangannya. Tidak untuk tujuan produktif maupun konsumtif. Aset tersebut bukan miliknya, ia tetap merupakan milik penuh pemberi simpanan. Pelanggaran terhadap ketentuan ini merupakan pengkhianatan terhadap amanah yang ia pegang.
Demikianlah beberapa di antara spesifikasi wadi’ah dalam Islam. Berdasarkan pada spesifikasi wadi’ah ini, tidak sulit untuk memahami bahwa konsep wadi’ah dalam Islam sangat jauh berbeda dengan praktik pada jasa penyimpanan uang di bank. Seorang nasabah tidak akan mau ambil pusing terhadap kerugian yang diderita bank akibat kebakaran, misalnya. Ia tetap akan menuntut untuk mendapatkan kembali uang depositonya. Plus, bunga yang dijanjikan bank. Di lain pihak, bagi bank sendiri, uang simpanan nasabah adalah sumber dana baginya untuk menjalankan roda kegiatan usahanya. Dana ini selanjutnya akan dialokasikan kepada bentuk bidang-bidang usaha bank yang lain.
Kalau demikian halnya, apakah hakikat simpanan pada bank menurut Islam? Melihat karakteristik simpanan uang di bank, ia adalah kredit oleh bank dari masyarakat. UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sendiri menyebutkan bahwa kredit (dalam jasa bank) adalah “penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.”
Tidak menjadi masalah bagi pihak debitor untuk tujuan apa kreditnya akan dimanfaatkan. Pihak peminjam bebas melakukan transaksi apa saja yang ia kehendaki terhadap kredit yang ia peroleh. Yang penting, debitor mendapatkan kembali uangnya setelah jangka waktu yang disepakati. Ini berarti, bunga yang diserahkan oleh pihak bank terhadap nasabahnya yang menyimpan uang adalah riba yang diharamkan Islam. Ia adalah tambahan atas utang. Walau demikian, beberapa pemikir memandang bunga bank dalam perspektif yang berbeda. Sementara pemikir ini berpendapat bahwa bunga bank memiliki alasan-alasan pembenaran tersendiri.

BEBERAPA ARGUMEN TENTANG HALALNYA BUNGA BANK

Walau demikian, beberapa pemikir memandang bunga bank dalam perspektif yang berbeda. Sementara pemikir ini berpendapat bahwa bunga bank memiliki alasan-alasan pembenaran tersendiri. Berikut ini yang terpenting di antaranya:
a. Pada masa Rasulullah صلى الله عليه وسلم tidak ada inflasi. Mata uang yang dipergunakan pada masa itu adalah mata uang yang stabil, dinar dan dirham. Karenanya, pengembalian hutang sebesar jumlah pinjaman menggambarkan keadilan. Dalam suatu kurun waktu di mana inflasi melanda mata uang tertentu, maka pengembalian hutang sebesar jumlah pinjaman belum menggambarkan keadilan. Bahkan sebaliknya, kerugian sepihak. Apalagi jika statemen la tazlimun wa la tuzlamun, kalian tidak menzalimi dan tidak pula dizalimi (TQS. al-Baqarah[2]: 278) dijadikan sebagai kata kunci untuk memahami esensi riba. Sehingga ‘illat (alasan hukum) larangan riba pada hakikatnya adalah “zulm”, bukan “tambahan”.
Tanggapan
Tidak dapat dipungkiri bahwa mata uang dinar dan dirham relatif lebih stabil dibandingkan dengan mata uang lain. Kekebalan relatif ini disebabkan oleh nilai intrinsik (nilai nominal yang tertulis sesuai dengan nilai bahan baku) yang dimiliki mata uang ini karena terbuat dari emas dan perak. Berbeda dengan mata uang lain yang tidak memiliki nilai intrinsik tersebut. Terlebih lagi karena ia adalah mata uang tidak berbangsa. Dalam kondisi stabil, selama kurun waktu 1.500 tahun, dengan modal uang 1-2 dinar, misalnya, seseorang tetap dapat membeli seekor kambing, tergantung pada besar dan kecilnya. Demikianlah sebagian keunggulan yang dimiliki oleh dinar dan dirham. Akan tetapi, mengasumsikan bahwa dinar dan dirham sama sekali tidak mungkin didera inflasi juga terlalu berlebihan. Karena pada akhirnya, betapapun, nilai yang dimiliki oleh dinar dan dirham adalah nilai yang diberikan oleh publik. Sama seperti nilai yang telah diberikan publik kepada mata uang lain. Sehingga, seluruh dampak mekanisme pasar yang mungkin menimpa mata uang lain juga mungkin terjadi pada dinar dan dirham.
Ibnu Taimiyah, yang bernota bene hidup di era penggunaan dinar dan dirham (w. 728 H/1328 M), pun menyadari hal ini. Ia mengakui bahwa mata uang pada masanya tersebut bukanlah maksud dan tujuan akhir. Ia tidak lebih dari sekadar fasilitas dalam transaksi manusia. Nilai yang dimilikinya diperoleh dari konsensus publik. Media apa pun, jika memiliki fungsi dan nilai yang sama, dapat menggantikan perannya. Sependapat dengan Ibnu Taimiyah, jauh sebelumnya, Malik telah menyatakan bahwa seandainya manusia sepakat untuk mempergunakan kulit-kulit binatang sebagai uang maka ia akan menghukuminya sama sebagaimana hukum dinar dan dirham.
Selanjutnya, andaipun kita ingin menjadikan inflasi sebagai faktor yang dipertimbangkan dalam pembayaran hutang, maka hendaknya kita melakukannya secara adil dan konsisten. Disamping memperhitungkan kondisi inflasi, kita pun hendaknya memperhitungkan kondisi deflasi.
Tersisa masalah “zulm” yang diangkat dan dijadikan sebagai ‘illat. Secara sederhana, ada baiknya bagi kita untuk secara jeli membedakan antara hikmah dan ‘illat. Jika yang disebut pertama tidak dapat dijadikan sebagai landasan qiyas (metode analogi hukum Islam), yang disebut terakhir justru sebaliknya. Ia merupakan komponen penting dalam metodologi qiyas. Untuk lebih mudahnya, ambil contoh ibadah puasa. Sudah jamak diketahui bahwa ritual ini ternyata terbukti membawa dampak positif bagi kesehatan seseorang. Dampak positif bagi kesehatan di sini adalah hikmah puasa. Dan tentu merupakan sebuah kekeliruan jika seseorang enggan melakukan kewajiban puasa dengan alasan kondisi kesehatannya telah optimal sehingga tidak lagi membutuhkan puasa.
b. Bunga yang dilarang adalah bunga yang keji dan berlipat ganda (riba fahisy). Suku bunga yang wajar dan proporsional diperkenankan. Bukankah Allah sendiri berfirman di dalam Al-Qur’an:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُو اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
(QS. Ali Imran[3]: 130)
Tanggapan 
Dalil-dalil pengharaman bunga telah menetapkan bahwa kreditor tidak berhak mendapatkan selain modal pokok yang ia berikan. Penunjukannya lebih jelas dan lebih pasti terhadap perkara besar atau kecilnya bunga. Sedangkan penyebutan “berlipat-lipat” di dalam ayat ini adalah semata-mata dalam rangka menjelaskan kenyataan yang kerap terjadi di dalam praktik riba. Ayat tersebut sama sekali tidak mengindikasikan pembatasan jenis riba yang terlarang pada bunga yang berlipat-lipat saja. Gaya bahasa semacam ini dapat kita temukan pada banyak tempat dalam Al-Qur’an. Sebagai contoh adalah dalam surat sebelumnya, Al-Baqarah, pada ayat 41 disebutkan:
فَاتَّقُونِ وَلَا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلًا وَإِيَّايَ
“… dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa.”
Ayat ini tentu tidak bermakna bahwa boleh menukarkan ayat-ayat Allah apabila dengan harga yang tinggi. Ayat ini menyebut “harga yang rendah” untuk menginformasikan bahwa demikianlah keadaannya yang banyak terjadi. Adakah sesuatu yang lebih mahal daripada ayat-ayat Allah?
Memahami teks-teks keagamaan (Al-Qur’an dan Hadits) secara parsial memang dapat membawa kepada kesalahan fatal. Untuk terhindar dari kesalahan ini, seorang peneliti hendaknya memahami teks-teks tersebut sebagai sebuah kesatuan yang utuh. Tidak tergesa-gesa menyimpulkan sebelum melihat teks-teks yang lain, utamanya yang juga membahas topik yang sama.
c. Pihak debitor telah mengorbankah modalnya kepada pihak kreditor untuk ia kelola sehingga mendapatkan hasil. Seandainya modal tersebut ia investasikan, tentu ia akan mendapatkan untung yang mungkin jauh lebih banyak. Maka sudah selayaknya jika pengorbanan ini dihargai dalam bentuk pemberian bunga.
Tanggapan
Dalam utang-piutang, pihak debitor sebenarnya tidak dirugikan. Bahkan ia diuntungkan. Pasalnya, keberadaan uangnya pada kreditor menjadi jaminan terhadap uang tersebut. Bukankah keberadaan uangnya di tangannya membawa risiko uang tersebut terbakar, dicuri dan sebagainya? Ketika uang tersebut ia pinjamkan, bahkan seandainya kreditor sedang menderita kerugian, ia tetap berhak terhadap sejumlah uangnya secara penuh. Ini yang pertama.
Persoalan kedua, atas dasar apa sehingga debitor ini selalu mengasumsikan dirinya mendapatkan untung dari usahanya. Bukankah setiap usaha selalu menghadapi risiko gagal? Di sini, ia telah bertindak diskriminatif. Sebab dengan sistem bunga, ia telah menjadikan dirinya dalam posisi selalu beruntung dengan mengabaikan risiko untung-rugi kreditor.
d. Keuntungan yang ditawarkan oleh sistem bagi hasil tidak jauh berbeda dengan bunga, kalau tidak bisa dikatakan sama.
Tanggapan
Terdapat banyak perbedaan yang signifikan antara keuntungan dalam sistem bunga dan keuntungan dalam sistem bagi hasil. Tabel berikut menunjukkan perbedaan-perbedaan tersebut.
BUNGABAGI HASIL
Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untungPenentuan besarnya rasio bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan ber-pedoman pada kemungkinan untung rugi
Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkanBesarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugiBagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keun-tungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”.Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan
Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama, termasuk IslamTidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil
Sumber: Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktik,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 61.
e. Manusia mengenal akad sewa-menyewa. Islam pun membolehkannya. Mengapa bunga pinjaman tidak dianggap saja sebagai fee atas penyewaan uang?
Tanggapan
Islam yang membolehkan sewa-menyewa, ia pula yang mengharamkan bunga. Mengqiyaskan antara dua hal yang jelas-jelas terdapat hukumnya dalam Islam merupakan kekeliruan. Qiyas seperti ini cacat sejak awal. Ia menyalahi syarat qiyas yaitu tidak bertentangan dengan nash. Di samping itu, Islam membedakan hukum antara fee sewa-menyewa dan bunga pinjaman karena memang terdapat perbedaan yang substansial antara akad utang-piutang dengan akad sewa-menyewa. Dalam Islam, penerima pinjaman dituntut untuk melunasi hutangnya dalam kondisi bagaimanapun juga. Seandainya uang yang ia pinjam dirampok orang, ia tetap berkewajiban melunasi hutangnya. Berbeda dengan sewa-menyewa. Barang yang disewa kemudian rusak atau hilang tidak wajib untuk diganti. Pemilik barang tidak berhak untuk meminta gantirugi atas kerusakan barangnya jika terbukti tidak terdapat unsur kelalaian dan atau kesengajaan pihak penyewa barang atas kerusakan tersebut.

FATWA-FATWA TENTANG BUNGA BANK

Setelah melihat dalil dari masing-masing, jelas kiranya bahwa fatwa pengharaman bunga bank sudah semestinya diterima dengan baik. Dibandingkan dengan negara berpenduduk mayori­tas Muslim yang lain, Muslim Indonesia bisa dikatakan terlambat. Sebab fatwa haramnya bunga bank sebenarnya telah lama didengungkan di dunia luar. Tercatat sejak tahun 1900 hingga 1989, Mufti Negara Republik Arab Mesir senantiasa menegaskan keputusannya tentang ribanya bunga bank. Tahun 1970, di Pakistan, semua peserta Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI) II, sepakat dengan suara bulat bahwa praktik bunga pada bank-bank konvensional bertentangan dengan syariah Islam. Fatwa senada juga dikeluarkan masing-masing oleh Konsul Kajian Islam Dunia di Kairo tahun 1965; Majmaul Fiqh Liga Muslim Dunia, Konferensi Internasional Ekonomi Islam I yang berlangsung di Mekah, dan Konferensi Internasional Fiqh Islam yang diselenggarakan di Riyadh. Abdullah al-Bassam bahkan melaporkan bahwa fatwa riba bank telah menjadi kesepa­kat­an dalam seluruh forum fiqh Islam di dunia saat ini. Disamping itu, tidak ketinggalan pula fatwa-fatwa dari ulama-ulama besar dan cendikiawan Muslim, seperti Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Syaikh Abdullah bin Baz, Abul A’la al-Maududi, Dr. Yusuf al-Qardhawi, dll. Sebagai penutup, ada baiknya kita menyimak ungkapan Abdullah bin Sulaiman al-Mani’ tentang transaksi keuangan berikut ini “Siapa pun yang memperhatikan secara saksama ajaran Islam mengenai aktivitas individu dan masyarakat dalam pengumpulan harta dan pendistribusiannya akan memperoleh kesan bahwa Islam telah berusaha mempersempit ruang tukar-menukar uang . . . dan bahwa keluarnya uang dari perspektif ini akan berimplikasi negatif . . . karena menumpuknya uang pada sejumlah kecil manusia akan memberi mereka peluang hegemoni terhadap kebutuhan masyarakat luas . . . . ”
Wallahu ta’ala a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar