Rabu, 29 Januari 2014

TERSENYUM TERHADAP UJIAN ALLAH

Harsono Love

Dibagikan kepada publik  -  07.54
 
Tersenyum terhadap ujian Allah.
Nabi Saw bersabda :"Sesungguhnya besarnya pahala itu tergantung besarnya ujian bala" dari Allah, dan sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, maka Allah mengujinya lebih dulu.Maka barangsiapa rela dengan ujian Allah itu maka Allah ridho kepadanya.Maka barangsiapa yang benci dengan ujian itu, maka Allah juga benci kepadanya."
( HR.Tirmidzi )
Firman Allah Swt :
    "Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan dengan perkataannya "Kami telah beriman",sedang mereka tidak diuji lagi ?
Dan sesungguhnya KAMI telah menguji (keimanan) orang-orang sebelum mereka (kita),maka Allah sungguh mengetahui orang-orang yang benar (keimanannya) dan orang-orang yang dusta (mengingkari keimanannya )".
    Surah Al Ankabuut (29) ayat 2-3

Keterangan :
    1.Ujian Allah adalah pasti terjadi kepada orang mukmin agar diketahui kwalitas imannya,benar atau dusta.
    2.Tidak hanya kita ,para nabi dan rasul semuanya  diberi ujian/cobaan.
    3.Ujian Allah itu mendatangkan pahala,ridho Allah,cinta Allah, meningkatkan kwalitas kesabaran , kepekaan sosial dan kecerdasan.
Orang yang pernah ditipu orang ,insyaalloh ,dia akan hati-hati dan cerdas (sulit untuk ditipu lagi dalam hal yang sama ).
   4,Tentunya ujian Allah itu akan memperoleh dampak positip ika kita ikhlas dan sabar tawakkal dalam menhadapinya.Semoga kita bisa. 
Tampilkan lebih sedikit
1

Selasa, 28 Januari 2014

KECERDASAN SPIRITUAL

Cara Meningkatkan Kecerdasan Spiritual

Ads by Google
Cara Meningkatkan Kecerdasan Spiritual - Kecerdasan spiritual sangat diperlukan juga dalam hidup ini, bukan hanya kecerdasan emosi, dan kecerdasan intelektual tetapi juga spiritual sangat dibutuhkan. fungsi kecerdasan spiritual adalah untuk memlihat dunia dan agama menjadi satu wahda yang saling keterkaiatan dan saling dibutuhkan sehingga ketika mencari dunia kita tidak akan jauh dari agama. 

Cara Meningkatkan Kecerdasan Spiritual

Cara meningkatkan kecerdasan spiritual menurut sukidi dalam Muhidi, 2011, adalah ada empat langkah untuk mengasah kecerdasan spiritual adalah:
Cara Meningkatkan Kecerdasan Spiritual
  1. Kenalilah Diri Anda. Orang yang sudah tidak bisa mengenal dirinya sendiri akan mengalami krisis makna hidup maupun krisis spiritual. Karenanya, tahu siapa diri sendiri adalah mutlak dibutuhkan untuk bisa meningkatkan kecerdasan spiritual
  2. Lakukan Intropeksi Diri. Dalam istilah keagamaan dikenal dengan istilah tadabbur atau muhasabah, ajukan pertanyaan pada diri sendiri, sudahkah saya berjalan dengan benar, sudah karier saya itu lurus dijalan yang di ridhai Allah?. Barangkali saat kita melakukan introspeksi, kita menumakan bahwa selama ini kita telah melenceng jauh dari rel kebenaran, masuk dalam kecurangan, atau kemunafikan terhadap orang lain.
  3. Aktifkan Hati Secara Rutin. Dalam konteks beragama adalah mengingat Tuhan (zikir kepada Allah). Karena, Dia adalah sumber kebenaran tertinggi dan kepada Dia-lah kita kembali. Dengan mengingat Tuhan, maka kita menjadi damai. Hal ini membuktikan kenapa banyak orang yang mencoba mengingat Tuhan melalui cara berzikir, tafakur, shalat tahajud, kontemplasi di tempat sunyi, bermeditasi, dan lain sebagainya.
  4. Menemukan Keharmonisan dan Ketenangan Hidup. Kita tidak akan jadi manusia yang rakus secara materi, tapi dapat merasakan kepuasan tertinggi berupa kedamaian dalam hati dan jiwa, sehingga kita merasa ada kestabilan dalam hidup dan keseimbangan dan merasakan kebahagiaan spiritual.
Menurut Abdul Wahid Hasan (2006:85-91) langkah-langkah dalam meningkatkan kecerdasan spiritualadalah sebagai berikut:
  • Merenungkan secara mendalam persoalan-persoalan hidup yang terjadi, baik di dalam diri sendiri, termasuk di luar diri sendiri.
  • Melihat kenyataan-kenyataan hidup secara utuh dan menyeluruh, tidak terpisah.
  • Mengenali motif diri. Motif atau tujuan (niat) yang kuat akan memiliki implikasi yang kuat pula bagi seseorang dalam mengarungi kehidupan.
  • Merefleksikan dan mengaktualisasikan spiritualitas dalam penghayatan hidup yang konkrit dan nyata.
  • Merasakan kehadiran yang begitu dekat, saat berzikir, berdoa dan dalam aktivitas yang lain.
Demikianlah beberapa Cara meningkatkan Kecerdasan Spiritual, Orang yang kuat spiritualnya akan bahagia dalam hidupnya, dan akan selalu merasakan damai karena mereka yakin bahwa hanya Tuhan saja yang memiliki kekuatan mutlak semntara yang lain selalu dan wajib bergantung padanya.
Ads by Google

PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL

5 Kecerdasan Emosional

5 Kecerdasan Emosional  Ayahbunda.co.id
Image by : Dokumentasi Ayahbunda
Pengertian cerdas sangat beragam. Ada IQ  yaitu cerdas inteligensia. Ada SQ, cerdas spiritual dan EQ (Emotional Intelligence), kecerdasan emosi. Teori tentang kecerdasan emosi dikembangkan pertama kali tahun 1980-an oleh beberapa psikolog dari Amerika Serikat: Howard Gardner,Peter Salovey dan John Mayer dan menjadi terkenal saat Daniel Goleman, psikolog dariHarvard University, menulis buku Emotional Intelligence tahun 1995.

Kecerdasan emosional dapat dikembangkan sejak usia dini. Konon anak yang punya  EQ tinggi memiliki kepribadian yang disukai, lebih mudah bergaul dan lebih sehat jasmaninya berkat kemampuannya mengontrol emosi.

5 Wilayah Kecerdasan Emosi (Menurut Goleman)
  1. Kemampuan Mengenali Emosi Diri: anak kenal perasaannya sendiri sewaktu emosi itu muncul. Seseorang yang mampu mengenali emosinya akan memiliki kepekaan yang tajam atas perasaan yang muncul seperti senang, bahagia, sedih, marah, benci dan sebagainya.
  2. Kemampuan Mengelola Emosi: anak mampu mengendalikan perasaannya sehingga emosinya tidak meledak-ledak yang akibatnya memengaruhi perilakunya secara salah. Meski sedang marah, orang yang mampu mengelola emosinya akan mengendalikan kemarahannya dengan baik, tidak teriak-teriak atau bicara kasar, misalnya.
  3. Kemampuan Memotivasi Diri: anak dapat memberikan semangat pada diri sendiri untuk melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat. Ia punya harapan dan optimisme yang tinggi sehingga memiliki semangat untuk melakukan suatu aktivitas.
  4. Kemampuan Mengenali Emosi Orang Lainbalita bisa mengerti perasaan dan kebutuhan orang lain, sehingga orang lain merasa senang dan dimengerti perasaannya. Kemampuan ini sering juga disebut sebagai kemampuan berempati. Orang yang memiliki empati cenderung disukai orang lain.
  5. Kemampuan Membina Hubungan: anak sanggup mengelola emosi orang lain sehingga tercipta keterampilan sosial yang tinggi dan membuat pergaulan seseorang lebih luas. Anak-anak dengan kemampuan ini cenderung punya banyak teman, pandai bergaul dan  populer.
Baca:
Ajarkan Kecerdasan Emosi Sejak Dini

Senin, 27 Januari 2014

WAJIB TAAT KEPADA PEMIMPIN

Kewajiban Taat Kepada Pemimpin Kaum Muslimin

Terdapat hadits-hadits yang memerintahkan kita untuk taat kepada pemimpin atau taat kepada penguasa, dalam arti tetap setia di bawah kepemimpinannya, dan tetap melaksanakan perintah-perintahnya. Kita hanya dibolehkan menyelisihi perintahnya ketika perintah itu merupakan perbuatan maksiat kepada Allah, sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada al-Khaliq.” Meski begitu, kita tetap dilarang melawan atau melepaskan kesetiaan kita kepada pemimpin tersebut. Inilah kewajiban untuk taat kepada ulil amri.
Di antara hadits-hadits yang memerintahkan ketaatan dan kesetiaan kepada pemimpin kaum muslimin meski ia tidak adil antara lain adalah:
Dari Ibnu ‘Umar radliyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Bagi setiap muslim, wajib taat dan mendengar kepada pemimpin (penguasa) kaum muslimin dalam hal yang disukai maupun hal yang tidak disukai (dibenci) kecuali jika diperintahkan dalam maksiat. Jika diperintahkan dalam hal maksiat, maka boleh menerima perintah tersebut dan tidak boleh taat.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dari ‘Auf bin Malik radliyallahu ‘anhu, beliau berkata:”Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : “Sebaik-baik pemimpin kamu adalah pemimpin yang kamu cintai dan ia pun mencintaimu. Kamu mendoakannya, dan ia pun mendoakanmu. Adapun seburuk-buruk pemimpin kamu adalah pemimpin yang kamu benci dan ia pun membencimu. Kamu melaknatnya dan ia pun melaknatmu”. Kami (para shahabat) bertanya : ”Wahai Rasulullah, apakah kami boleh melawan mereka dengan pedang (memberontak) atas hal itu ?”. Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam pun menjawab : ”Jangan, selagi ia masih menegakkan shalat bersamamu” (dua kali). Ketahuilah, barangsiapa yang dipimpin oleh seorang pemimpin, kemudian ia melihat pemimpin tersebut melakukan kemaksiatan kepada Allah, maka bencilah kemaksiatan tersebut, dan jangan melepaskan tangan dari ketaatan kepadanya” (HR. Muslim)
Dari Ummu Salamah radliyallaahu ’anha bahwa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Akan diangkat para penguasa untuk kalian. Lalu engkau mengenalinya dan kemudian engkau mengingkarinya (karena ia telah berbuat maksiat). Barangsiapa yang benci, maka ia telah berlepas tangan. Barangsiapa yang mengingkarinya, sungguh ia telah selamat. Akan tetapi, lain halnya dengan orang yang ridla dan patuh terhadap pemimpin tersebut”. Para shahabat bertanya : ”Wahai Rasulullah, apakah kami boleh memeranginya ?”. Beliau menjawab : ”Tidak, selama mereka mengerjakan shalat, yaitu barangsiapa yang membenci dan mengingkari dengan hatinya” (HR. Muslim)
Hanya saja, pemimpin yang dimaksud di sini bukan sembarang pemimpin yang memerintah kaum muslimin. Sebab, ada hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ummul Hushain radliyallahu ‘anha,beliau mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إن أمر عليكم عبد مجدع حسبتها قالت أسود يقودكم بكتاب الله تعالى فاسمعوا له وأطيعوا
“meski kalian dipimpin oleh seorang budak dengan Kitabullah, maka taat dan dengarlah.”
Sementara itu, Imam Ahmad dan al-Hakim meriwayatkan dengan redaksi:
يا أيها الناس اتقوا الله وان أمر عليكم عبد حبشي مجدع فاسمعوا له وأطيعوا ما أقام فيكم كتاب الله عز و جل
“Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Allah sekalipun yang memerintah kalian adalah seorang budak Habsyah yang pesek hidungnya, dengar dan taatlah selama dia menegakkan Kitabullah Azza Wa jalla di tengah-tengah kalian.” Adz-Dzahabi dan Syu’aib al-Arna’uth menyatakan bahwa hadits ini shahih.
Imam An Nawawi dalam syarah-nya menyatakan:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mentaati ulil amri meski pun pada dirinya terdapat kekurangan tersebut selama ia memimpin dengan kitabullah. Para ulama berkata: maksudnya selama ia berpegang teguh kepada Islam dan menyeru kepada kitabullah Ta’ala walau bagaimana pun keadaan diri mereka, agama mereka dan akhlaq mereka.”
Dengan demikian, jika hadits-hadits di atas dipahami bersama dengan hadits yang memerintahkan taat secara mutlak kepada pemimpin, maka kita dapat mengakatan bahwa pemimpin yang kita diperintahkan untuk tetap mentaatinya meski ia fajir adalah pemimpin yang tetap mendasarkan pemerintahannya kepada Islam (yang dalam hadits disimbolkan dengan kitabullah), dan tetap berkomitmen untuk menegakkan syariat Islam meski di sana-sini mungkin ditemukan berbagai pelanggaran dalam pemerintahannya maupun dalam diri pribadi mereka, seperti sebagian dari para khalifah Bani Umayyah, Bani ‘Abbas dan Bani ‘Utsman.
Ketentuan ini tidak berlaku bagi pemimpin yang mencampakkan Islam dalam dalam kehidupan bernegara, tak mau menjalankan pemerintahan di atas prinsip akidah Islam, tak mau terikat kepada syariah Islam dalam hukum dan kebijakannya, dan tak berniat menerapkan hukum-hukum Islam atas warga negaranya. Maka, jika kita proyeksikan ke zaman kita sekarang, ketentuan taat kepada pemimpin ini tak berlaku bagi mereka yang membangun pemerintahannya di atas sekularisme, dan justru berhukum kepada perundangan yang digali dari akal dan hawa nafsu manusia seraya melupakan dan mencampakkan syariat Allah. Sebab, mencampakkan hukum Islam seraya tak mengimani keshahihannya untuk diterapkan, kemudian justru berhukum kepada selain hukum Islam merupakan kekufuran yang nyata sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir ketika menafsirkan Surat al-Maidah ayat 50. Dengan demikian, kita telah membawa hal yang mutlak kepada yang muqayyad.
Dan dari ‘Ubadah bin ash-Shamit radliyallahu ‘anhu, beliau berkata:
دَعَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَبَايَعْنَاهُ فَكَانَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِى مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ قَالَ « إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ »
Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru kami maka kami berbai’at kepada beliau, diantara yang beliau minta kepada kami dalam bai’at itu adalah kesanggupan untuk mendengar dan taat baik dalam keadaan ringan atau berat, dalam keadaan sulit atau mudah dan ketika kami diperlakukan tidak adil dan agar kami tidak menggoyang kepemimpinan seseorang, beliau bersabda: “…kecuali apabila kalian melihatkekufuran yang nyata (kufur bawaah) dengan diiringi bukti yang jelas dari Allah.” (Muttafaq ‘Alaih dengan redaksi hadits riwayat Muslim.)

LARANGAN BUGHOT ( BERONTAK )

BUGHAT


B U G H A T (PEMBERONTAK)
Makna Bahasa Bughat
Bughat بُغَاةٌ ) ( adalah bentuk jamak اَْلبَاغِيُ , yang merupakan isim fail (kata benda yang menunjukkan pelaku), berasal dari kataبَغى (fi’il madhi),َيبْغِيُ (fi’il mudhari’), danبُغْيَةً - بَغْيًا بُغَاءً - (mashdar). Kata بَغى mempunyai banyak makna, antara lain طَلَبَ (mencari, menuntut), ظَلَمَ (berbuat zalim), إِعْتَدَى تَجَاوَزُالْحَدَّ (melampaui batas), dan كَذَبَ (berbohong) (Anis, 1972:64-65, Munawwir, 1984:65 & 106, Ali, 1998:341).
Dengan demikian, secara bahasa, البَاغِيُ (dengan bentuk jamaknyaاَلْبُغَاةُ ) artinya اَلظَّالِمُ (orang yang berbuat zalim), اَلْمُعْتَدِيْ (orang yang melampaui batas), atau اَلظَّالِمُ الْمُسْتَعْلِيْ (orang yang berbuat zalim dan menyombongkan diri) (Ali, 1998:295, Anis, 1972:65).
Makna Syar’i Bughat
Dalam definisi syar’i --yaitu definisi menurut nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah-- bughat memiliki beragam definisi dalam berbagai mazhab fiqih, meskipun berdekatan maknanya atau ada unsur kesamaannya. Kadang para ulama mendefinisikan bughat secara langsung, kadang mendefinisikan tindakannya, yaitu al-baghy[u] (pemberontakan).
Berikut ini definisi-definisi bughat yang dihimpun oleh Abdul QadirAudah (1996:673-674), dalam kitabnya التشريع الجنائي الإسلامي ) At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islamiy), dan oleh Syekh Ali Belhaj (1984:242-243), dalam kitabnya فصل الكلام في مواجهة ظلم الحكام (Fashl Al-Kalam fi Muwajahah Zhulm Al-Hukkam)

A. Menurut Ulama Hanafiyah.

... البغي … الخروج عن طاعة إمام الحق بغير حق و الباغي … الخارج عن طاعة إمام الحق بغير حق
حاسية ابن عابدين ج: 3 ص: 426 – شرح فتح القدير ج: 4 ص: 48 )
"Al-Baghy[u] (pemberontakan) adalah keluar dari ketaatan kepada imam (khalifah) yang haq (sah) dengan tanpa [alasan] haq. Dan al-baaghi (bentuk tunggal bughat) adalah orang yang keluar dari ketaatan kepada imam yang haq dengan tanpa haq.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, III/426; Syarah Fathul Qadir, IV/48).
B. Menurut Ulama Malikiyah

... البغي ... الإمتناع عن طاعة من ثبتت إمامته في غير معصية بمغالبته ولو تأويلا ...
... البغاة ... فرقة من المسلمين خالفت الإمام الأعظم أو نائبه لمنع حق وجب عليها أو لخلفه
شرح الزرقاني و حاشية الشيبان ص: 60)

Al-Baghy[u] adalah mencegah diri untuk mentaati orang yang telah sah menjadi imam (khalifah) dalam perkara bukan maksiat dengan menggunakan kekuatan fisik (mughalabah) walaupun karena alasan ta`wil (penafsiran agama)…
Dan bughat adalah kelompok (firqah) dari kaum muslimin yang menyalahi imam a’zham (khalifah) atau wakilnya, untuk mencegah hak (imam) yang wajib mereka tunaikan, atau untuk menggantikannya.”(Hasyiyah Az-Zarqani wa Hasyiyah Asy-Syaibani, hal. 60).
C. Menurut Ulama Syafi’iyah

... البغاة ... المسلمون مخالفو الإمام بخروج عليه و ترك الانقياد له أو منع حق توجه عليهم بشرط شوكة
لهم و تأويل و مطاع فيهم ( نهاية المحتاج ج: 8 ص: 382 ؛ المهذب ج: 2 ص: 217 ؛ كفاية الأخيار
ج: 2 ص: 197 – 198 ؛ فتح الوهاب ج: 2 ص: 153 )

Bughat adalah kaum muslimin yang menyalahi imam dengan jalan memberontak kepadanya, tidak mentaatinya, atau mencegah hak yang yang seharusnya wajib mereka tunaikan (kepada imam), dengan syarat mereka mempunyai kekuatan (syaukah), ta`wil, dan pemimpin yang ditaati (muthaa’) dalam kelompok tersebut.” (Nihayatul Muhtaj, VIII/382; Al-Muhadzdzab, II/217; Kifayatul Akhyar, II/197-198; Fathul Wahhab, II/153).

... هم الخارجون عن طاعة بتأويل فاسد لا يقطع بفساده إن كان لهم شوكة بكثرة أو قوة و فيهم مطاع
( أسنى المطالب ج: 4 ص: 111 )

Bughat adalah orang-orang yang keluar dari ketaatan dengan ta`wil yang fasid (keliru), yang tidak bisa dipastikan kefasidannya, jika mereka mempunyai kekuatan (syaukah), karena jumlahnya yang banyak atau adanya kekuatan, dan di antara mereka ada pemimpin yang ditaati.” (Asna Al-Mathalib, IV/111).

Jadi menurut ulama Syafi’iyah, bughat itu adalah pemberontakan dari suatu kelompok orang (jama’ah), yang mempunyai kekuatan (syaukah) dan pemimpin yang ditaati (muthaa’), dengan ta`wil yang fasid(Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islamiy, II/674)
D. Menurut Ulama Hanabilah

... البغاة ... الخارجون عن إمام ولو غير عدل بتأويل سائغ و لهم شوكة ولو لم يكن فيهم مطاع
( شرح المنتهى مع كشاف القناع ج: 4 ص: 114 )

Bughat adalah orang-orang memberontak kepada seorang imam --walaupun ia bukan imam yang adil-- dengan suatu ta`wil yang diperbolehkan (ta`wil sa`igh), mempunyai kekuatan (syaukah), meskipun tidak mempunyai pemimpin yang ditaati di antara mereka.” (Syarah Al-Muntaha ma’a Kasysyaf al-Qana’, IV/114).
E. Menurut Ulama Zhahiriyah

... بأنهم ينازعون الإمام العادل في حكمه فيأخذون الصدقات و يقيمون الحدود
( ابن حزم , المحلى ج: 12 ص: 520 )

Bughat adalah mereka yang menentang imam yang adil dalam kekuasaannya, lalu mereka mengambil harta zakat dan menjalankan hudud” (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, XII/520).

... البغي هو الخروج على إمام حق بتأويل مخطىء في الدين أو الخروج لطلب الدنيا
( ابن حزم , المحلى ج: 11 ص: 97 - 98 )

Al-Baghy[u] adalah memberontak kepada imam yang haq dengan suatu ta`wil yang salah dalam agama, atau memberontak untuk mencari dunia.” (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, XI/97-98).
F. Menurut Ulama Syiah Zaidiyah

... الباغي ... من يظهر أنه محق و الإمام مبطل و حاربه أو غرم وله فئة أو منعة أو قام بما أمره للإمام
( الروض النضير ج: 4 ص: 331 )

Bughat adalah orang yang menampakkan diri bahwa mereka adalah kelompok yang haq sedang imam adalah orang yang batil, mereka memerangi imam tersebut, atau menyita hartanya, mereka mempunyai kelompok dan senjata, serta melaksanakan sesuatu yang sebenarnya hak imam.” (Ar-Raudh An-Nadhir, IV/331).

Definisi Yang Rajih
Dari definisi-definisi tersebut, manakah definisi yang kuat (rajih)? Untuk itu perlu dilakukan pengkajian yang teliti. Dengan meneliti definisi-definisi di atas, nampak bahwa perbedaan yang ada disebabkan perbedaan syaratyang harus terpenuhi agar sebuah kelompok itu dapat disebut bughat (‘Audah, 1996:674). Misalnya, menurut ulama Syafi’iyah, syarat bughat haruslah karena ta`wil yang fasid, yaitu mempunyai penafsiran yang salah terhadap nash (Asna Al-Mathalib, IV/111). Sementara ulama Zhahiriyah, syarat bughat bisa saja karena ta`wil yang salah atau karena alasan duniawi, misalnya memperoleh harta benda atau jabatan (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, XI/97-98).
Sedangkan syarat itu sendiri, dalam ushul fiqih, maksudnya adalahsyarat syar’iyah, bukan syarat aqliyah (syarat menurut akal) atau syarat ‘aadiyah (syarat menurut adat) (Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat, I/186). Jadi syarat itu sebenarnya merupakan hukum syara’ (bagian hukum wadh’i), yang wajib bersandar kepada dalil syar’i, seperti wudhu --sebagai salah satu syarat shalat-- berdalil surah Al-Maidah ayat 6. Maka, untuk melihat definisi yang rajih, atau untuk membuat definisi yang jami`an (mencakup unsur-unsur yang harus ada dalam definisi) dan mani’an (mencegah unsur-unsur yang tak boleh ada dalam definisi), kita harus melihat dalil-dalil syar’i yang mendasari terbentuknya definisi bughat.
Dalil-dalil pembahasan bughat, adalah QS Al-Hujurat ayat 9 (Al-Maliki, 1990:79), dan juga hadits-hadits Nabi SAW tentang pemberontakan kepada imam (khalifah). Di antara ulama ada yang mengumpulkan dalil-dalil hadits ini dalam bab khusus, misalnya Imam Ash Shan’ani mengumpulkannya dalam babQitaal Ahl Al-Baghiy dalam kitabnya Subulus Salam III hal. 257-261. Abdul Qadir Audah mengumpulkannya pada aliena (faqrah) ke-659 dalam An-Nushush Al-Waridah fi Al-Baghiy dalam kitabnya At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islamiy (Audah, 1992:671-672). Di samping nash-nash syara’, pendefinisian bughat juga dapat mempertimbangkan data tarikh (sejarah) shahabat yang mengalami pemberontakan, seperti sejarah Khalifah Ali bi Abi Thalib dalam Perang Shiffin dan Perang Jamal. Imam Asy-Syafi’i –rahimahullahu-- berkata,”Saya mengambil [hukum] tentang perang bughat dari Imam Aliradhiyallahu ‘anhu.” (Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, 1999:310). Dalam hal ini telah terdapat Ijma’ Shahabat mengenai wajibnya memerangi bughat (Al-Anshari, t.t. :153; Al-Husaini, t.t.:197).
Dengan mengkaji nash-nash syara’ tersebut, dapat disimpulkan ada 3 (tiga) syarat yang harus ada secara bersamaan pada sebuah kelompok yang dinamakan bughat, yaitu :
  1. pemberontakan kepada khalifah/imam (al-khuruj ‘ala al-khalifah),
  2. adanya kekuatan yang dimiliki yang memungkinkan bughat untuk mampu melakukan dominasi (saytharah),
  3. mengggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuan politisnya (Al-Maliki, 1990:79; Haikal, 1996:63).
Syarat pertama, adanya pemberontakan kepada khalifah (imam) (al-khuruuj ‘ala al-imam). Hal ini bisa terjadi misalnya dengan ketidaktaatan mereka kepada khalifah atau menolak hak khalifah yang mestinya mereka tunaikan kepadanya, semisal membayar zakat. Syarat pertama ini, memang tidak secara sharih (jelas) disebutkan dalam surah Al-Hujurat ayat 9 :

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ ...

Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya (zalim) maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah ...” (QS Al-Hujurat [49]:9)

Namun demikian, Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari (w.925 H) dalam Fathul Wahhab (II/153) mengatakan,”Dalam ayat ini memang tidak disebut ‘memberontak kepada imam’ secara sharih, akan tetapi ayat tersebut telah mencakupnya berdasarkan keumuman ayatnya, atau karena ayat tersebut menuntutnya. Sebab jika perang dituntut karena kezaliman satu golongan atas golongan lain, maka kezaliman satu golongan atas imam tentu lebih dituntut lagi.”
Jadi, dalil syarat pertama ini (memberontak kepada imam) adalah keumuman ayat tersebut (QS 49:9). Selain itu, syarat ini ditunjukkan secara jelas oleh hadits yang menjelaskan tercelanya tindakan memberontak kepada imam (al-khuruj ‘an tha’at al-imam). Misalnya sabda Nabi SAW :

... مَنْ خَرَجَ مِنْ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً ... ( روه مسلم عن أبي هريرة )

Barangsiapa yang keluar dari ketaatan (kepada khalifah) dan memisahkan diri dari jamaah kemudian mati, maka matinya adalah mati jahiliyyah.” (HR. Muslim No. 3436 dari Abu Hurairah).
Adapun yang dimaksud imam atau khalifah, bukanlah presiden atau raja atau kepala negara lainnya dari negara yang bukan negara Islam (Daulah Islamiyah/Khilafah). Abdul Qadir Audah menegaskan, “[Yang dimaksud] Imam, adalah pemimpin tertinggi (kepala) dari Negara Islam (ra`is ad-dawlah al-islamiyah al-a’la), atau orang yang mewakilinya...” (At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islamiy, Juz II hal. 676).
Hal tersebut didasarkan dari kenyataan bahwa ayat tentang bughat (QS Al-Hujurat : 9) adalah ayat madaniyah yang berarti turun sesudah hijrah (As Suyuthi, 1991:370). Berarti ayat ini turun dalam konteks sistem negara Islam (Daulah Islamiyah), bukan dalam sistem yang lain. Hadits-hadits Nabi SAW dalam masalah bughat, juga demikian halnya, yaitu berbicara dalam konteks pemberontakan kepada khalifah, bukan yang lain (Lihat Subulus Salam, III/257-261). Demikian juga, pemberontakan dalam Perang Shiffin yang dipimpin Muawiyah (golongan bughat) melawan Imam Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah yang sah, jelas dalam konteks Daulah Islamiyah (Lihat Al-Manawi, Faidh Al-Qadir, II/336).
Dengan demikian, pemberontakan kepada kepala negara yang bukan khalifah, misalnya kepada presiden dalam sistem republik, tidak dapat disebut bughat, dari segi mana pun, menurut pengertian syar’i yang sahih.
Syarat kedua, mempunyai kekuatan yang memungkinkan kelompok bughat untuk mampu melakukan dominasi. Kekuatan ini haruslah sedemikian rupa, sehingga untuk mengajak golongan bughat ini kembali mentaati khalifah, khalifah harus mengerahkan segala kesanggupannya, misalnya mengeluarkan dana besar, menyiapkan pasukan, dan mempersiapkan perang (Kifayatul Akhyar, II/197). Kekuatan di sini, sering diungkapkan oleh para fuqaha dengan istilah asy-syaukah, sebab salah satu makna asy-syaukah adalah al-quwwah wa al-ba`s (keduanya berarti kekuatan) (Al-Mu’jamul Wasith, hal. 501). Para fuqaha Syafi’iyyah menyatatakan bahwa asy-asyaukah ini bisa terwujud dengan adanya jumlah orang yang banyak (al-katsrah) dan adanya kekuatan (al-quwwah), serta adanya pemimpin yang ditaati (Asna Al-Mathalib, IV/111).
Syarat kedua ini, dalilnya antara lain dapat dipahami dari ayat tentang bughat (QS Al Hujurat:9) pada lafazh وَإِنْ طَائِفَتَان ...ِ (jika dua golongan...). Sebab kata طَائِفَةٌ artinya adalah اَلْجَمَاعَةُ (kelompok) dan اَلْفِرْقَةُ (golongan) (Al-Mu’jamul Wasith, hal. 571). Hal ini jelas mengisyaratkan adanya sekumpulan orang yang bersatu, solid, dan akhirnya melahirkan kekuatan. Maka dari itu, Taqiyuddin Al-Husaini dalam Kifayatul Akhyar (II/198) ketika membahas syarat “kekuatan”, beliau mengatakan,”...jika (yang memberontak) itu adalah individu-individu (afraadan), serta mudah mendisiplinkan mereka, maka mereka itu bukanlah bughat.” Dengan demikian, jika ada yang memberontak kepada khalifah, tetapi tidak mempunyai kekuatan, misalnya hanya dilakukan oleh satu atau beberapa individu yang tidak membentuk kekuatan, maka ini tidak disebut bughat.
Syarat ketiga, mengggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuannya. Para fuqaha mengungkapkan syarat penggunaan senjata dengan istilah man’ah, atau terkadang juga dengan istilah asy-syaukah, karena asy-syaukah juga bisa berati as-silaah (senjata). Man’ah (boleh dibaca mana’ah) memiliki arti antara lain al-‘izz (kemuliaan), al-quwwah (kekuatan), atau kekuatan yang dapat digunakan seseorang untuk menghalangi orang lain yang bermaksud [buruk] kepadanya (Al-Mu’jamul Wasith, hal. 888).
Dalil syarat ketiga terdapat dalam ayat tentang bughat (QS Al Hujurat : 9), yaitu pada lafazh اقْتَتَلُوا (kedua golongan itu berperang). Ayat ini mengisyaratkan adanya sarana yang dituntut dalam perang, yaitu senjata (as-silaah). Selain dalil ini, ada dalil lain berupa hadits di mana Nabi SAW bersabda :

مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّّلاحَ فَلَيْسَ مِنّاَ ( متفق عليه عن ابن عمر )

Barangsiapa yang membawa senjata untuk memerangi kami, maka ia bukanlah golongan kami.” (Shahih Bukhari No. 6366, Shahih Muslim No. 143. Lihat Bab Qitaal Ahl Al-Baghi, Imam Ash-Shan’ani,Subulus Salam, III/257. Lihat juga hadits ini dalam Kitab Qitaal Ahl Al-Baghi, Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, II/217).
D         engan demikian, jika ada kelompok yang menentang dan tidak taat kepada khalifah, tetapi tidak menggunakan senjata, misalnya hanya dengan kritikan atau pernyataan, maka kelompok itu tak dapat disebut bughat.
Berdasarkan semua keterangan di atas, maka jelaslah bahwa definisi bughat adalah kelompok yang padanya terpenuhi 3 (tiga) syarat secara bersamaan, yaitu : (1) melakukan pemberontakan kepada khalifah/imam, (2) mempunyai kekuatan yang memungkinkan bughat untuk mampu melakukan dominasi, dan (3) mengggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuan politisnya  

Tindakan hukum terhadap bughat
Orang-orang yang membangkang harus diusahakan untuk kembali mentaati iman atau pimpinan yang sah. Upaya untuk mengembalikan mereka harus ditempuh dengan cara-cara yang baik dan benar. Tindakan yang dilakukan harus bertahap dari cara yang paling ringan sampai yang paling berat. Misalnya dengan diberikan pengertian, jika tidak berhasil, maka bisa diberikan ultimatum, atau bahkan ancaman untuk memeranginya. Jika masih belum bisa dengan cara ini, maka boleh diperangi.
Allah swt. Berfirman :
bÎ)ur Èb$tGxÿͬ!$sÛ z`ÏB tûüÏZÏB÷sßJø9$# (#qè=tGtGø%$# (#qßsÎ=ô¹r'sù$yJåks]÷t/ ( .bÎ*sù ôMtót/ $yJßg1y÷nÎ) n?tã 3t÷zW{$# (#qè=ÏG»s)sùÓÉL©9$# ÓÈöö7s? 4Ó®Lym uäþÅ"s? #n<Î) ÌøBr& «!$# 4 bÎ*sùôNuä!$sù (#qßsÎ=ô¹r'sù $yJåks]÷t/ ÉAôyèø9$$Î/ (#þqäÜÅ¡ø%r&ur ( ¨bÎ)©!$# =Ïtä šúüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÒÈ
Artinya :
 Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.(QS Al-Hujuraat : 9)

Rasulullah bersabdah :
Artinya :

“ barang siapa yang didatangi kelompok yang bermaksud memecahkan persatuan kamu sekalian, maka bunuhlah mereka.” (HR.Muslim)

Status hukum bughat
Orang yang membangkang jika benar-benar telsh memenuhi syarat-syarat seperti dijelaskan diatas, maka sama halnya dengan menentang hukum-hukum Allah. Ia telah berbuat zalim atau durhaka pada pimpinan yang sah dan berarti telah memisahkan diri dari jamaah.menaati pimpinan adalah salah satu perintah Allah swt.
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&urtAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû&äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè?«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ×Žöyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QS Al-Nisa: 59)
Rasulullah bersabdah :
Artinya :
“ barang siapa keluar dari taat dan memisahkan diri dari jamaah, kemudian ia mati, maka matinya termasuk mati jahiliyah”(HR. Muslim)
Contoh perbuatan bughat
pada masa rasulullah saw. Di madinah, orang-orang yahudi bani quraidhah melakukan pengingkaran terhadap perjanjian perdamaian yang dibuat bersama rasulullahsaw. Lalu mereka melakukan pembangkangan , penyerangan dan pembunuhan terhadap umat islamoleh Rasulullah saw. Akhirnya Bani Quraidhah ini diperangi.perbuatan orang-orang Bani Quraidhah termasuk bughat.
Hikmah dilarangnya bughat
a.       terjadinya kedamaian dan kerukunan didalam masnyarakat.
b.      Pemerintahan atau iman yang sah menurut hukum diberikan kebebasan untuk bertindak rangka membela diri, menegakkan keadilan.
c.       Masyarakat tidak boleh semena-mena melakukan tindakan melawan pemerintahan yang sah.
d.      Jika ada perbedaan pendapat harus disalurkan dengan cara-cara yang baik dan benar.





Tidak ada komentar:

Poskan Komentar